2.1 Tuberkulosis Paru
TB_Paru |
2.1.1 Pengertian
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman Tuberkulosis menyerang paru tapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. (Depkes, 2008)
2.1.2 Kuman Tuberkulosis
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pewarnan. Oleh karena itu disebut juga sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman Tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun. (Depkes, 2008)
2.1.3 Cara Penularan Penyakit Tuberkulosis Paru
Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam (Depkes RI, 2008).
Seseorang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Setelah kuman tuberkulosis masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar diparu bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2008).
Daya penularan dari seorang penderita di tentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari paru-parunya. Makin tinggi derajat positip hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman) maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang menderita tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. (Depkes RI, 2009)
2.1.4 Risiko Penularan
Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1%, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita Tuberkulosis, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita Tuberkulosis. Maka dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan arti 1%, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 penderita Tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif (Depkes RI, 2009).
2.1.5 Penegakkan Diagnosis
Batuk lebih dari 3 minggu setelah dicurigai kontak dengan penderita Tuberkulosis dapat diduga sebagai Tuberkulosis. Dengan pemeriksaan yang sistematis, intensif dan berulang kali serta berdasarkan pengertian pada perjalanan penyakit tuberkulosis maka penderita tuberkulosis akan lebih mudah ditegakkan. Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pemeriksaan yaitu: Gejala klinis, pemeriksaan fisik, tes tuberkulin, radiology dan pemeriksaan sputum (Depkes RI, 2001 ).
a. Gambaran Klinis Penyakit Tuberkulosis Paru.
Menurut Depkes RI (2002), gambaran Klinis pada Tuberkulosis paru sangat bervariasi. Keluhan yang sering muncul adalah:
1) Batuk
Gejala ini paling banyak dijumpai dan sering ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronchus untuk membuang produk-produk radang keluar. Batuk terjadi setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru-paru setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula.
Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradagan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Batuk yang terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih perlu diwaspadai penderita tersangka Tuberkulosis.
2) Demam
Demam biasanya subfibril menyerupai demam influenza. Keadaan ini dipengaruhi oleh daya tahan tubuh dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk. Panas badan dapat mencapai 40-41 0C.
3) Sesak Napas
Pada penyakit yang masih ringan belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru.
4) Nyeri Dada
Gejala ini jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
5) Malaise
Gejala malaise yang sering ditemukan berupa anaroksia, penurunan berat badan, sakit kepala, nyeri otot dan keringat malam.
Jika menderita gejala diatas batuk yang tidak sembuh-sembuh selama 3 minggu, demam, berkeringat dingin dimalam hari serta cepat lelah dan diperkuat dengan riwayat kontak dengan seseorang penderita tuberkulosis. Sebaiknya cepat memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan dan perlu dilakukan pemeriksaan sputum secara mikroskopik langsung. Pada kondisi kronis Tuberkulosis mempunyai gejala batuk darah disertai sakit di dada.
b. Pemeriksaan Fisik
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat tergantung dari derajat berat ringannya penyakit, tidak jarang keadaan umum penderita baik sekali dan tidak dijumpai kelainan pada pemeriksaan fisik. Pada penderita yang sudah parah biasanya keluhan buruk, kurus sekali dan dapat dijumpai kelainan pada pemeriksaan fisik paru. Pada pemeriksaan fisik harus kita perhatikan kelainan yang sering dijumpai, pertama adalah pembesaran kelenjar dileher, kedua kita perhatikan tempat predileksi Tuberkulosis yaitu daerah apek dan segmen apical lobus bawah yang kira-kira letaknya dipertengahan punggung (Depkes RI, 2002).
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat tergantung dari derajat berat ringannya penyakit, tidak jarang keadaan umum penderita baik sekali dan tidak dijumpai kelainan pada pemeriksaan fisik. Pada penderita yang sudah parah biasanya keluhan buruk, kurus sekali dan dapat dijumpai kelainan pada pemeriksaan fisik paru. Pada pemeriksaan fisik harus kita perhatikan kelainan yang sering dijumpai, pertama adalah pembesaran kelenjar dileher, kedua kita perhatikan tempat predileksi Tuberkulosis yaitu daerah apek dan segmen apical lobus bawah yang kira-kira letaknya dipertengahan punggung (Depkes RI, 2002).
c. Tes Tuberkulin
Tes kulit dapat mengidentifikasi seseorang yang telah terinfeksi pada suatu saat oleh Mycobacterium tuberculosis, namun tidak dapat membedakan antara penyakit yang sedang berlangsung dengan keadaan pasca infeksi. Suatu hasil tes yang positif tidak selalu diikuti dengan penyakit, demikian juga dengan hasil tes negatif tidak selalu menyingkirkan Tuberculosis. Tes tuberkulin ini mungkin hanya berguna dalam menentukan diagnosis daripada penderita yang dahaknya negatif (terutama anak-anak yang mempunyai kontak dengan seseorang penderita Tuberkulosis yang menular) (Suparman dan Waspadji, 1990).
Uji tuberkulin dilakukan dengan cara mantoux (Penyuntikan intra kutan) dengan spuit tuberkulin 1 cc, pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Jika uji tuberkulin meragukan dilakukan ulang (Suparman dan Waspadji, 1990).
d. Pemeriksaan Radiologi
Pada saat ini pemeriksaan radiology dada merupakan cara yang praktis untuk mendiagnosis tuberculosis pada penderita suspek dengan hasil pemerikasaan sputum negatif. Untuk mendiagnosis pasti tuberculosis berdasarkan pada pemeriksaan radiologis, hasilnya harus dibaca oleh dokter yang telah berpengalaman (Depkes RI, 2002).
d. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum secara mikroskopik merupakan pemeriksaan yang paling sederhana, mudah, dan dapat dilaksanakan di puskesmas dengan pemeriksaan yang sangat spesifik dan cukup sensitif. Tetapi tidak mudah mendapatkan sputum terutama penderita yang tidak batuk produktif (Depkes, 2001)
Mycobacterium tuberkulosis berbentuk batang mempunyai sifat yaitu tahan terhadap penghilangan warna dengan asam dan alkohol oleh karena itu disebut basil tahan asam (BTA). Untuk mengurangi kesulitan menemukan BTA, maka kualitas dan kuantitas sputum harus baik. (Depkes, 2001).
Sputum yang baik harus berjumlah 3-5 ml, kental, berwarna kuning kehijau-hijauan dan bukan ludah. Sputum dikumpulkan dalam 2 hari berurutan yaitu sputum sewaktu, pagi, sewaktu. Pada hari pertama waktu penderita datang dengan keluhan suspek tuberkulosis, penderita mengumpulkan sputum sebagai spesimen pertama berupa sputum sewaktu. Kemudian penderita diberi pot sputum yang diisi pada esok harinya setelah bangun tidur sebagai spesimen kedua berupa dahak pagi. Kemudian hari kedua saat menyerahkan sputum pagi, penderita mengumpulkan sputum sebagai spesimen ketiga berupa sputum sewaktu (Depkes, 2001).
2.1.6. Klasifikasi Tuberkulosis
Menurut Depkes RI (2002), ada beberapa cara pengklasifikasian penyakit Tuberkulosis, yaitu:
a. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak:
1) Pasien dengan BTA Positif
- Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA sekurang-kurangnya pada 2x pemeriksaan
- Mikroskopik positif, radiology positif
- Mikroskopik positif, biakan positif
2) Pasien dengan BTA Negatif
- Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara miroskopik tidak ditemukan BTA sedikitnya 2x pemeriksaan
- Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopik tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi ada biakan yang positif.
b. Berdasarkan Tipe Penderita
1) Kasus Baru
Penderita Tuberkulosis yang belum pernah diobati atau sudah pernah minum OAT kurang dari satu bulan.
2) Kambuh (Relaps)
Penderita Tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA.
3) Pindah (Transfer In)
Penderita dalam pengobatan OAT pindah dari Kabupaten lain.
4) Setelah lalai (Setelah Default)
Penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
5) Lain-lain:
a) Gagal
1) Kasus Baru
Penderita Tuberkulosis yang belum pernah diobati atau sudah pernah minum OAT kurang dari satu bulan.
2) Kambuh (Relaps)
Penderita Tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA.
3) Pindah (Transfer In)
Penderita dalam pengobatan OAT pindah dari Kabupaten lain.
4) Setelah lalai (Setelah Default)
Penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
5) Lain-lain:
a) Gagal
- Penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali pada akhir bulan ke 5 atau lebih.
- Penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.
b) Kasus kronik
Penderita dengan hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif setelah pengobatan ulang dengan kategori 2.
Penderita dengan hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif setelah pengobatan ulang dengan kategori 2.
2.1.7. Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan Tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan penularan. Pengobatan akan diberikan setelah dignosis ditegakkan. Obat diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan. Apabila panduan obat digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman Tuberkulosis akan berkembang menjadi kuman kebal obat pada resisten. Untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin ketaatan penderita minum obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung menelan obat untuk jangka pendek (DOTS = Directly Observed Treatment Short-Cource). Pengobatan Tuberkulosis diberikan dalam 2 tahap yaitu: tahap intensif dan lanjutan (Depkes RI, 2008).
2.2. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru
2.2.1. Umur
Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan di dalam penyelidikan epidemiologi. Angka-angka kesakitan maupun kematian di dalam hampir semua keadaan menunjukkan hubungan dengan umur (Notoadmodjo, 2003).
Faktor umur diduga kuat memiliki hubungan dengan terjadinya kasus penyakit Tuberkulosis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 75% penderita Tuberkulosis adalah kelompok usia produktif (15 – 50) tahun. Orang-orang pada usia produktif biasanya memiliki lebih banyak aktivitas yang mengharuskan bertemu dengan banyak orang sehingga kemungkinan tertular dari penderita lain juga lebih besar. Pada usia produktif tersebut, biasanya juga banyak yang memiliki kebiasaan merokok yang merupakan salah satu faktor resiko kejadian penyakit Tuberkulosis (Depkes RI,2002).
2.2.2. Jenis Kelamin
Di Afrika penyakit Tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita Tuberkulosis laki-laki hampir dua kali lipat dibanding perempuan, yaitu 42,34 % pada laki-laki dan 28,92 % pada perempuan (WHO, 1998).
Berdasarkan penelitian Astuti (1998) jumlah penderita laki-laki lebih besar dari pada penderita perempuan hal ini dimungkinkan karena kebiasaan merokok pada laki-laki dan istirahat yang tidak teratur.
2.2.3. Pendidikan
Tingkat pendidikan yang diperoleh seseorang dari bangku sekolah dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin tinggi pula tingkat pengetahuan tetang kesehatan terutama dalam upaya pencegahan penyakit seperti penyakit tuberkulosis. Pendidikan yang rendah sangat mempengaruhi dalam mendeteksi penyakit hal ini merupakan salah satu hambatan yang menyebabkan kegagalan dalam pengobatan dan pemberantasan tuberkulosis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan rendah mempunyai kemungkinan 1,49 kali untuk terjadinya penyakit tuberkulosis dibandingkan dengan pendidikan tinggi. (Yanti, 2005).
2.2.4. Pekerjaan
Dalam hubungannya dengan kemungkinan terjadinya suatu penyakit, pekerjaan dapat berpengaruh langsung maupun tidak langsung. Penyakit karena debu misalnya silicosis paru, merupakan akibat langsung terhadap para pekerja. Sedangkan pengaruh tidak langsung dapat terjadi apabila lingkungan sosial ekonomi kurang baik biasanya tingkat penghasilannya pun rendah, hal ini merupakan salah satu penyebab kurang dimanfaatkannya pelayanan kesehatan yang ada, mungkin karena tidak cukup uang untuk membeli obat, transportasi dan sebagainya (Astuti, 1998).
Jenis pekerjaan dapat berperan didalam timbulnya penyakit melalui beberapa jalan, misalnya :
- Adanya faktor lingkungan yang langsung menimbulkan kesakitan misaal bahan kimia, gas beracun, radiasi, dll.
- Situasi pekerjaan yang penuh dengan stress.
- Ada tidaknya gerak badan didalam pekerjaan
- Berada dalam suatu tempat yang sempit.
Penyakit karena cacing tambang telah diketahui mempunyai kaitan dengan pekerja tambang (Astuti, 1998).
2.2.5. Ekonomi Keluarga
Merupakan suatu kenyataan yang diterima bahwa jenjang pekerjaan dan status ekonomi mempunyai hubungan yang jelas dengan kematian akibat tuberculosa dan kesakitannya. Secara ekonomi, penyebab utama berkembangnya kuman-kuman tuberculosis di Indonesia disebabkan masih rendahnya pendapatan per kepala, kurang terpeliharanya gizi dan nutrisi serta hal-hal lain yang menyangkut buruknya lingkungan. Sementara akibat yang ditimbulkan dari penyakit ini sangat merugikan ekonomi penderitanya. Gambaran tersebut sejalan dengan kenyataan bahwa pada umumnya yang terserang penyakit Tuberkulosis adalah golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah (Depkes RI, 2008).
2.2.6. Ventilasi
Ventilasi adalah lubang penghawaan pada ruangan agar sirkulasi udara dalam ruangan menjadi baik. Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan (KEPMENKES) RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan, luas ventilasi minimal 10% dari luas lantai dan sebaiknya udara yang masuk adalah udara segar dan bersih (Notoadmodjo, 2003).
2.2.7. Pencahayaan Matahari
Pencahayaan matahari adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan luas jendela yang memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari. Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan (KEPMENKES) RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan, luas jendela minimal 15%-20% dari luas lantai rumah. Pencahayaan matahari yang baik adalah pencahayaan yang memberikan kesempatan cahaya matahari untuk masuk ± 60 lux ke dalam dan tidak menyilaukan sehingga cahaya matahari mampu membunuh kuman-kuman patogen. Jika pencahayaan kurang sempurna akan mengakibatkan ketegangan mata (Notoadmodjo, 2003).
Pencahayaan matahari adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan luas jendela yang memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari. Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan (KEPMENKES) RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan, luas jendela minimal 15%-20% dari luas lantai rumah. Pencahayaan matahari yang baik adalah pencahayaan yang memberikan kesempatan cahaya matahari untuk masuk ± 60 lux ke dalam dan tidak menyilaukan sehingga cahaya matahari mampu membunuh kuman-kuman patogen. Jika pencahayaan kurang sempurna akan mengakibatkan ketegangan mata (Notoadmodjo, 2003).
2.2.8.Kebiasaan Merokok
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan merokok berhubungan erat dengan terjadinya serta proses perjalanan penyakit Tuberkulosis. Penelitian menunjukkan adanya hubungan bermakna antara prevalensi reaktivitas tes tuberkulin (tes untuk mengetahui seseorang terinfeksi Tuberkulosis) dan kebiasaan merokok. Mereka yang merokok 3 – 4 kali lebih sering positif tesnya, artinya 3 – 4 kali lebih sering terinfeksi Tuberkulosis daripada yang tidak merokok. Penelitian yang lain menunjukkan hubungan antara kebiasaan merokok dengan aktif tidaknya penyakit Tuberkulosis, serta faktor resiko terjadinya Tuberkulosis pada dewasa muda, dan terdapat dose-response relationship dengan jumlah rokok yang dihisap per harinya. Penelitian lain menemukan bahwa anak yang terpapar asap rokok (perokok pasif) lebih sering menderita Tuberkulosis (Aditama, 2003).
Kebiasaan merokok menjadi faktor resiko karena kebiasaan merokok akan merusak mekanisme pertahanan paru yang disebut muccociliary clearance. Bulu-bulu getar dan bahan lain di paru tidak mudah “membuang” infeksi yang sudah masuk karena bulu getar dan alat lain di paru rusak akibat asap rokok. Selain itu, asap rokok meningkatkan tahanan jalan nafas (airway resistance) dan menyebabkan mudah bocornya pembuluh darah di paru, juga akan merusak makrofag yang merupakan sel yang dapat memakan bakteri pengganggu. Asap rokok juga diketahui dapat menurunkan respons terhadap antigen sehingga kalau ada benda asing masuk ke paru tidak lekas dikenali dan dilawan. Berdasarkan hasil penelitian, kebiasaan merokok meningkatkan angka kematian akibat Tuberkulosis sebesar 2.8 kali (Aditama, 2003).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan merokok berhubungan erat dengan terjadinya serta proses perjalanan penyakit Tuberkulosis. Penelitian menunjukkan adanya hubungan bermakna antara prevalensi reaktivitas tes tuberkulin (tes untuk mengetahui seseorang terinfeksi Tuberkulosis) dan kebiasaan merokok. Mereka yang merokok 3 – 4 kali lebih sering positif tesnya, artinya 3 – 4 kali lebih sering terinfeksi Tuberkulosis daripada yang tidak merokok. Penelitian yang lain menunjukkan hubungan antara kebiasaan merokok dengan aktif tidaknya penyakit Tuberkulosis, serta faktor resiko terjadinya Tuberkulosis pada dewasa muda, dan terdapat dose-response relationship dengan jumlah rokok yang dihisap per harinya. Penelitian lain menemukan bahwa anak yang terpapar asap rokok (perokok pasif) lebih sering menderita Tuberkulosis (Aditama, 2003).
Kebiasaan merokok menjadi faktor resiko karena kebiasaan merokok akan merusak mekanisme pertahanan paru yang disebut muccociliary clearance. Bulu-bulu getar dan bahan lain di paru tidak mudah “membuang” infeksi yang sudah masuk karena bulu getar dan alat lain di paru rusak akibat asap rokok. Selain itu, asap rokok meningkatkan tahanan jalan nafas (airway resistance) dan menyebabkan mudah bocornya pembuluh darah di paru, juga akan merusak makrofag yang merupakan sel yang dapat memakan bakteri pengganggu. Asap rokok juga diketahui dapat menurunkan respons terhadap antigen sehingga kalau ada benda asing masuk ke paru tidak lekas dikenali dan dilawan. Berdasarkan hasil penelitian, kebiasaan merokok meningkatkan angka kematian akibat Tuberkulosis sebesar 2.8 kali (Aditama, 2003).
wah... bahaya sekali ... kalu untuk pencegahan penyakit ini bagaimana ?
ReplyDeletethanks atas informasinya gan :)
ReplyDeleteTernyata berbahaya sekali
ReplyDeleteGame Android
Informasi Terbaru